JAKARTA,
– Menurut dosen dari Stih Jentera, Bivitri Susanti, ide menambahkan lima kementerian atau lembaga di mana posisi sipil dapat diambil alih oleh anggota TNI aktif—seperti yang dibahas dalam rancangan perubahan Undang-Undang Tentang TNI—masih rasional.
Kelima instansi pemerintahan tersebut meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Lembaga Ketahanan Laut (Bakamla), serta Kejaksaan Agung.
“Menurut saya sampai sekarang masih wajar,” katanya saat berbicara.
Kompas Petang
di
KompasTV
, Rabu (12/3/2025).
Dia lalu memberikan contoh tentang posisi dalam Kejaksaan Agung. Menurut Bivitri, walaupun dia telah seringkali mengkritik sistem peradilan militer, namun menurut pandangannya, keberadaan Jamsusperlim tetap penting.
Meskipun saya juga menilai negatif mengenai sistem peradilan militer, namun kita tetap memiliki hal ini di dalam undang-undang dasar kita. Jadi, peradilan militer mencakup berbagai aspek termasuk jaksa penuntut militer yang dikenal sebagai jampidmil.
“Jaksa yang menjadi odiatur militer biasanya adalah seorang penuntut umum dari angkatan bersenjata dan hakimnya pun merupakan hakim militer. Ini tetap masuk akal,” tandasnya.
Selanjutnya terkait posisi sipil di KKP, dia mencurigai bahwa izin bagi TNI untuk menempati posisi sipil di KKP berhubungan dengan peran TNI Angkatan Laut.
Jika membicarakan masalah terbaru ini tentu saja adalah KKP. Menurut pendapatku, KKP dan Bakamla mungkin berhubungan dengan angkatan laut, jadi aku menduga apa peran dari angkatan laut.
Namun begitu, dia menekankan pentingnya kewaspadaan dalam melibatkan TNI yang sedang bertugas dalam upaya pencegahan terorisme.
Menurut dia, panitia kerja (panja) di DPR seharusnya dapat menganalisis lebih mendalam apakah tindakan terhadap terorisme benar-benar perlu ditangani oleh militer.
Kemungkinan besar nantinya dalam panel kerja dapat diperinci lebih jauh tentang hal ini; apakah upaya pemberantasannya memerlukan peranan TNI sehubungan dengan aspek pertahanan? Menurut Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, bukankah tindakan tersebut termasuk kewenangan kepolisian?
Walaupun pada dasarnya dia merasa bahwa peningkatan jumlah kementerian atau lembaga yang memungkinkan TNI untuk aktif menempati posisi sipil adalah sesuatu yang logis, Bivitri malah cemas tentang aspek bisnis militer.
Saya bersama sejumlah besar individu tetap memiliki ketakutan mengenai industri militer. Harus kita pastikan bahwa tidak ada celah bagi upaya-upaya yang dapat dilakukan.
“Sudah pernah ada pengalaman sebelumnya, termasuk membentuk tim spesial untuk menangani urusan bisnis militer. Saya mengingat betul bahwa kepala tim tersebut adalah Pak Erri Riyana Hardjapamekas,” katanya.
Walaupun pekerjaannya belum terselesaikan, Bivitri menganggap bahwa sudah ada pencatatan di sektor keamanan sejak awal reformasi yang menyatakan bisnis militer semestinya ditutup.
“Oleh karena itu, jika terdapat keperluan-keperluan yang berkaitan dengan kesejahteraan prajurit, mari kita atasi hal tersebut melalui keputusan yang bijaksana, bertujuan agar kondisi kesejahteraan para prajurit menjadi lebih baik,” tandasnya.
“Oleh sebab itu, bukan dengan cara memberikan kesempatan untuk berbisnis, karena hal tersebut bisa menimbulkan ketidaksamaan dalam persaingan usaha, kurangnya kompetisi yang sehat, dan pada gilirannya akan menciptakan ruang bagi penyalahgunaan,” jelasnya.
Lebih lanjut, katanya, hingga saat ini masih terdapat anggota tentara yang melaksanakan tindakan kriminal berupa korupsi dan kasus-kasus tersebut dihadapi oleh pengadilan militer.
Meskipun masih terlihat rancu namun tetap dapat ditranslasikan tentang pelakunya. Jika pasukan militer yang melaksanakan tindakan tersebut, mereka tidak akan berada dalam ranah pengadilan publik.