Ternyata Begini Rasa Bubur Samin Banjar Takjil Legendaris Masjid Darussalam Jayengan Solo

staff kilas


Kebiasaan berbuka puasa di Masjid Darussalam Jayangan Solo telah dimulai sejak tahun 1930an, namun spesialitas menu bubur samin Banjar hanya diperkenalkan pada tahun 1985. Hal ini disampaikan oleh ketua takmir masjid tersebut.




bergabung dengan WhatsApp Channel, ikuti dan temukan informasi terkini kami disini




Online.com –

Selasa, sekitar pukul 17.20 WIB, seorang ibu paruh baya, peranakan Tionghoa, menuntun sepeda ungu masuk halaman Masjid Darussalam, Jayengan, Kota Surakarta.

“Habis, mas?” tiba-tiba dia bertanya kepada saya. Saya langsung menangkap apa yang dia maksud.

“Coba ibu tanya ke bapak-bapak yang di sana, Ibu,” balas saya. Dia menuntun lagi sepedanya agak maju.

“Akhiri, ya?” dia bertanya lagi, kini pada tiga lelaki lanjut usia yang tengah mempersiapkan hidangan berbuka puasa: bubur samin unggulan dari mesjid yang telah didirikan sejak tahun 1919 tersebut.

“Sudah, Bu. Lagi besok, ya,” menjawab salah satunya. Sang ibu menganggukkan kepala sambil menyebutkan dia umumnya selesai dengan pekerjaannya pada waktu itu.

Dia mengayuh sepedanya kembali, meninggalkan halaman masjid. Raut wajahnya tak terlihat letih, pasalnya ia masih dapat berkunjung esok hari – tentunya dengan tiba lebih pagi dari biasa.

Sampai di Jayengan, lebih spesifik lagi di Jalan Gatot Subroto, kira-kira jam 5 sore waktu Indonesia Bagian Barat. Daerah yang ada di depan masjid telah dipenuhi oleh orang-orang mencari buka puasa. Memahami hal ini, Jayengan merupakan salah satu tempat favorit untuk mencari buka puasa terpopuler di Kota Solo.

Setelah itu, saya parkirkan sepeda motorku di area parkir depan masjid Darussalam dan langsung buruan menuju ke halamannya dengan harapan masih bisa mendapatkan antrian untuk menerima bubur samin khas Banjar yang disediakan oleh pengurus masjid. Namun sayangnya, tiba-tiba saja ada rasa kecewa karena apa yang ditemukan hanyalah tungku-tungku kosong yang sudah siap untuk dibersihkan serta beberapa pria dewasa yang tengah mengatur dan menyusun sajian buka puasa di dalam ruangan masjid tersebut.

BACA JUGA:  6 Kultum Pendek 7 Menit yang Akan Mengubah Pandangan Anda Tentang Lailatul Qadar

Sambil menantikan adzan maghrib, saya memperhatikan gerakan mereka, mendengarkan percakapan pengunjung lainnya, menyambut orang-orang yang baru tiba, dan hal-hal semacamnya. Saya juga sempat mencatat jumlah piring bubur sumsum yang disajikan pada kesempatan tersebut; ada kira-kira 100 piring di serambi depan masjid serta 100 piring tambahan didalamnya.

Saya benar-benar tidak bisa menunggu lagi untuk mencicipi bubur samin di hadapan saya yang memiliki aroma rempah sangat kuat, disajikan bersama potongan daging sapi berbumbu rendang.

Di dalam piring tersebut, takmir juga tidak melupakan untuk menambahkan dua biji kurma sebagai camilan saat berbuka puasa. “Bukalah puasa dengan sesuatu yang manis,” demikianlah pesan dari guru mengaji di TPA desa tempatku dibesarkan yang selalu diajarkan setiap kali Ramadhan tiba.

Setelah beberapa baris pujian, azan Maghrib terdengar. “Allahumma laka shumtu, wa bika amanta, wa ala rizqika aftarta.” Kemudian saya mencoba minuman yang telah disiapkan oleh pengurus masjid, memakai buah kurma yang rasanya sangat pas, serta langsung mengerjapkan sendok sup yang sudah dibumbui semenjak masih dalam periuk tersebut.

Bagaimana kesannya? Seperti dugaan saya, bubur samin menampilkan rasa gurih yang kuat dengan campuran bumbu khas yang dimasak menggunakan minyak samin. Bumbu-bumbunya menghasilkan aroma dan rasa yang kompleks.



Alhamdulillah



, kataku dalam hati.


Tidak tersembunyi bahwa Masjid Darussalam Jayengan memiliki tradisi yang selalu dijalankan saat bulan Ramadhan tiba: membagikan takjil secara cuma-cuma berupa bubur samin khas Banjar, Kalimantan Selatan. Bubur samin ini juga menunjukkan eksistensi komunitas Banjar di Kota Surakarta yang diyakin telah hadir sejak penghujung abad ke-19.

BACA JUGA:  Ramadan Menghadirkan Ketentraman Hati Melalui Al-Qur'an


Pertama dilakukan pada 1985

Berdasarkan pernyataan M Rosyidi Muchdor, yang merupakan ketua Takmir Masjid Darussalam, seperti dikutip dari Kompas.ID, kebiasaan buka puasa bersama di Masjid Darussalam telah dimulai sejak tahun 1930. Pada masa tersebut, tempat ibadah ini disebut sebagai langgar atau musala. Sementara untuk sajian pembuka puasa pada waktu itu terdiri atas sup khas Banjar serta beberapa hidangan lainnya. Namun, belum termasuk bubur samin dalam daftar menu tersebut.

Dari keteraturan Muchdor pula dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banjar yang terletak di Kota Surakarta telah eksis sejak tahun 1890. Pada masa tersebut, mereka hadir dengan tujuan perdagangan perhiasan yang ditujukan untuk ritual-ritual yang digelar oleh Keraton Surakarta.

Setelah itu, mereka membeli sebidang lahan di Jayengan. Pada lahannya tersebut, mereka mengawali pembangunan langgar pada tahun 1910 dan menyelesaikannya pada tahun 1911. Langgar inilah yang menjadi cikal bakal Masjid Darussalam Jayengan seperti yang kita kenal saat ini.

“Tradisi makan bersama dengan tetangga-tetangga Banjar sudah ada semenjak terbentuknya langgar. Menu yang disajikan pasti merupakan hidangan khas Banjar. Baru pada tahun 1985, jemaah masjid ini membuat janji untuk menyediakan bubur bagi publik,” ungkap Muchdor.


Di tahun 1965, Pengurus Masjid Darussalam H Anang Sahroni anak dari Abdul Somad menyajikan bubur samin khas Banjar sebagai hidangan berbuka puasa. Namun, bubur tersebut belum disebarluaskan ke publik dan masih terbatas hanya untuk jemaah di Masjid Darussalam saja.

Pada tahun 1985, pembagian bubur samin pun dimulai untuk publik. Awalnya mereka hanya memproduksi 20 kilogram bubur samin, namun jumlah ini terus bertambah hingga kini mencapai 50 kilogram, seperti yang diceritakan Muchdor di Solo, sesuai dengan kutipan dari Kompas.com.

BACA JUGA:  Studi Ungkap Dulu Orang Eropa Berkulit Hitam

Muchdor menyampaikan, setiap ramadhan, Masjid Darussalam selalu membuat 50 kilogram atau 1.300 porsi bubur samin. Di mana 1.100 porsi bubur samin dibagikan kepada masyarakat dan sisanya 200 porsi untuk takjil atau buka puasa bersama masjid.

“Ditambah kopi susu, kurma, buah-buahan dan kue lain dari donatur,” ungkap dia.

Menyang soal dana, Muchdor menyebutkan bahwa semua ini datang dari para penyumbang yang tersebar di beberapa daerah, termasuk mantan siswa Darussalam. Dia menambahkan, “dana untuk pembuatan bubur samin tersebut berasal dari mantan murid SD Darussalam, mantan jamaah dari Singapura, Yogyakarta, dan Purwokerto.”

Seperti telah disinggung di awal, hidangan tradisional banjar bernama bubur samin memiliki rasa yang istimewa serta dipadu dengan bumbu-bumbu beragam.

“Setiap sendok menyampaikan kehangatan kepada tubuh. Mungkin hal ini dikarenakan penggunaan berbagai macam rempah-rempah yang cukup banyak. Masjid tidak mau memberi detail tentang resep tersebut. Akan tetapi, di antara cita rasanya dapat dirasakan gabungan dari bumbu-bumbu seperti kapulaga, kayu manis, pala, ketumbar, jahe, sampai kemiri. Kuah buburnya menjadi lebih enak karena ditambah dengan serpihan daging sapi serta sayuran. Bahan utama yang menjadikannya sangat lezat adalah pemakaian minyak samin,” demikian dilansir Kompas.ID.

Hanya jamaah Masjid Darussalam Jayengan yang berhak mengantri dan menikmati bubur samin tanpa batasan. Setiap orang diperbolehkan untuk mencicipi dan merasakan kenikmatan tersebut. Seperti halnya kisah ibu setengah baya yang saya sebutkan di awal.

Menurut Muchdor, bubur Samin Banjar yang disajikan di Masjid Darussalam Jayengan merupakan wujud dari ukhuwah Islamiyah serta rasa persaudaraan antar umat beragama. Setiap tahun, minatnya terhadap acara ini tetap tinggi.

Baca Selanjutnya:

Bagikan:

Tags

Tinggalkan komentar

/