Angklung: Warisan Budaya Indonesia yang Mendunia

staff kilas

KRP – Angklung merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat dan telah dikenal sejak abad ke-11. Pada 16 Januari 2011, UNESCO mengakui angklung sebagai bagian dari Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan, mengukuhkan posisinya sebagai warisan budaya dunia Indonesia yang berharga.

Asal usul kata “angklung” berakar dari bahasa Sunda, di mana “angkleung-angkleung” menggambarkan gerakan pemain mengikuti irama, sementara “klung” melambangkan suara khas yang dihasilkan instrumen ini. Angklung dibuat dari bambu hitam (awi wulung) atau bambu biasa (awi temen), dengan konstruksi yang terdiri dari 2 hingga 4 tabung bambu berukuran berbeda yang diikat menggunakan rotan.

Sejarah angklung dapat ditelusuri hingga era Kerajaan Sunda (abad ke-12 hingga ke-16). Pada masa itu, angklung memiliki peran penting dalam upacara persembahan kepada Nyai Sri Pohaci, Dewi Padi yang dipercaya menganugerahkan kehidupan. Selain fungsi ritualnya, angklung juga digunakan untuk meningkatkan semangat juang di masa peperangan, yang kemudian menyebabkan pelarangan penggunaannya selama masa Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya, angklung mengalami evolusi signifikan. Awalnya, angklung hanya mengenal tangga nada pentatonis dengan 5 nada dasar. Namun pada tahun 1983, Daeng Soetigna menciptakan terobosan dengan mengembangkan angklung diatonis, memungkinkan instrumen ini memainkan beragam lagu kontemporer.

Teknik memainkan angklung melibatkan tiga cara dasar: Kurulung (getaran), Centok (pukul), dan Tengkep. Masing-masing teknik menghasilkan karakter suara yang berbeda, menambah kekayaan ekspresi musikal instrumen ini.

Dalam budaya Sunda, terdapat beragam jenis angklung yang masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi khusus. Angklung tradisional seperti Kanekes, Dogdog Lojor, Badeng, Buncis, Gubrag, Buhun, dan Reog, memiliki peran penting dalam ritual adat dan pertanian. Sementara itu, angklung modern seperti Angklung Padaeng dan Angklung Kreasi telah beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Berdasarkan ukurannya, angklung dapat dibedakan menjadi tiga: angklung kecil untuk nada tinggi, angklung sedang untuk harmoni, dan angklung besar untuk bass. Dari segi fungsi sosial, terdapat angklung pertunjukan untuk hiburan, angklung upacara untuk ritual adat, dan angklung pendidikan untuk pembelajaran.

Angklung bukan sekadar alat musik, melainkan simbol identitas dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Instrumen ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong, sekaligus menjadi media ekspresi seni dan komunikasi tradisional. Di era modern, angklung telah berkembang menjadi ikon budaya Indonesia di kancah internasional, membuktikan bahwa warisan budaya tradisional dapat tetap relevan dan dihargai di era global.

Also Read

Bagikan:

Tinggalkan komentar