Tuhan menciptakan kebutuhan ruhani dan jasmani bagi manusia. Keseimbangan hidup antara kebutuhan ruhani dan jasmani tersebut berbeda-beda cara menjalani serta tergantung letak geografis. Begitu sempurnaNya, sehingga mulai dari agama dan makanan untuk manusia begitu sangat teratur. Misal orang Eskimo atau Esquimaux makanan utama adalah minyak singa laut, daging singa laut dan berbagai jenis ikan, dan semua jenis makanan ini kaya akan asam lemak karena daerahnya yang dingin guna untuk menghangatkan suhu badan. Sementara orang Sunda makan nasi dan lab-lalaban hijau karena sangat ditunjang dengan alam daerahnya yang ’serba hijau’.
Ngomong soal makanan, diantaranya makanan pokok daerah Jawa Barat yaitu pare ditutu jadi beas (padi digiling jadi beras), seperti dicontohkan diatas makanan sebagai salah satu sumber kehidupan untuk keberlangsungan suatu peradaban. Konon menurut para ahli tapi sayang tidak disebutkan perkiraan abadnya, dalam buku manausia dan kebudayaan di Indonesia (Prof. Dr. Koentjaranigrat, hal .17) ”padi di Indonesia untuk pertama kalinya didaerah pegunungan Assam Utara atau Birma Utara. Namun, kepandaian menanam padi di sawah dikenal oleh orang Jawa sebelum pengaruh Hindu datang yaitu abad 14 Masehi”. Anggapan lain dari wilayah Sumedang Jawa Barat tepatnya daerah Rancakalong ada juga cerita yang berkaitan dengan padi, menurut sesepuh (Tokoh adat) Bah Sukarma,” konon masyarakat daerah tersebut pernah mengalami ujianNya berupa hama yang menyerang padi mereka hingga habis, kemudian perwakilan dari daerah tersebut meminta bantuan dari pihak Kerajaan Mataram berupa benih padi”, itu terjadi pada abad 17- an Masehi.
Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, padi termasuk genus Oryza L yang meliputi lebih kurang 25 spesies, tersebar didaerah tropik dan daerah sub tropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Menurut Chevalier dan Neguier padi berasal dari dua benua Oryza fatua Koenig dan Oryza sativa L berasal dari benua Asia, sedangkan jenis padi lainya yaitu Oryza stapfii Roschev dan Oryza glaberima Steund berasal dari Afrika barat. Padi yang ada sekarang ini merupakan persilangan antara Oryza officinalis dan Oryza sativa f spontania. Di Indonesia pada mulanya tanaman padi diusahakan didaerah tanah kering dengan sistem ladang, akhirnya orang berusaha memantapkan basil usahanya dengan cara mengairi daerah yang curah hujannya kurang. Tanaman padi yang dapat tumbuh dengan baik didaerah tropis ialah Indica, sedangkan Japonica banyak diusakan didaerah sub tropika.
Penelitian baru arkeolog Korea Selatan menyatakan, bahwa mereka telah menemukan bibit padi setempat yang sudah diketahui paling kuno di dunia, dan sekali lagi mendorong maju ribuan tahun rekor saat ini tentang sumber makanan pokok Asia. Di kawasan tengah Korea Selatan tergali 59 biji padi cokelat yang hangus, melalui penentuan tahun dengan sinar radioaktif, menunjukkan, bahwa tahun garapan tumbuh-tumbuhan ini, sejak 14.000-15.000 tahun silam telah dimulai (Erabaru News Rabu, 05 Agustus 2009).
Mitos dan Pupuk
Dibeberapa belahan dunia padi menjadi makanan pokok, bahkan dihubungkan dengan mitos. Misal di Jawa Barat yang percaya terhadap dewi padi atau Nyi Pohaci. Bombana yang dikenal sebagai wilayah Moronene, salah satu dari sekian banyak etnis di Sulawesi Tenggara. Dimitoskan sebagai Negeri Dewi Padi, konon, sang dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto. Menanam padi gunung (bahuma) merupakan aktifitas utama bagi masyarakat Dayak Loksado disamping kegiatan lainnya bahkan bisa dikatakan sebagai suatu kewajiban yang tidak dapat mereka tinggalkan karena selain hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan akan pangan mereka selama setahun, bahuma dapat mereka gunakan sebagai media “berkomunikasi” dengan Sang Pencipta.
Mitos-mitos suci tersebut kini berhadapan dengan teknologi bernama industri. Yaitu menjamurnya teknologi pupuk berbahan ’kimia’ telah menjadi candu pada kesucian dewi padi diberbagai daerah di Indonesia. Ini sebetulnya inti permasalahan yang harus menjadi bahan perenugan bagi semua kalangan terutama pemerintah tak terkecuali. Sebab berakibat pada pola bertani, misalnya menyusutkan cara petani dalam mengunakan teknologi tani yang dianggap ’kuno’. Untungnya masih ada sebagian masyarakat yang masih keukeuh (tetap) mengunakan kearifan lokalnya. Kenyataanya terbukti dengan keberhasilan mereka dan layak bila menirunnya—disamping hargannya mahal tentu saja kualitas padi terjaga sebab pupuk tidak berbahan ’kimia’.
Bertani Kok Susah
Solusi yang tepat supaya bertani tidak susah kuncinya adalah kembalilah kepada kearifan lokal—sudah ada solusi untuk memecahkan semua kendala. Itu menurut salah ahli pertanian buhun (jaman dulu) pak Asep yang tinggal di daerah Bandung (Jawa Barat). Beliau tidak hanya pandai berteori, tapi telah mengembangkan ide dan pengetahuannya kekhalayak luas dan sangat sangat berhasil. Ini mungkin hal yang harus ditiru oleh kalangan pertanian akademis yakni pertanian yang berbasis pada kearifan lokal.
Sebagian daerah kini banyak muncul mengembangkan rehabilitasi kecanduan pupuk kimia secara bertahap dari teknologi berbahan dasar alami dan mengkiblat pada kearifan lokal adalah di India, Badung (Bali), di daerah Tasikmalaya (Jawa Barat) dan lainnya.
Masalah yang dihadapi petani harus kita ketahui dan memberikan solusi yang nyata. Mungkin dengan cara pemerintahan terkait memberikan pengetahuan bahwa sesunguhnya teknologi buhun (sudah lama keberadaannya) bila dipelajari akan sangat memecahkan masalah ketergantungan pada pupuk kimia. Salah satunya dengan cara iklan di semua statsiun televisi atau dengan penuh kegigihan dan bermental kearifan lokal, kemudian secara khidmat melakukan terobosan baru dalam masyarakat dengan mental pantang menyerah seperti mental para pahlawan. Sehingga apa yang di cita-citakan oleh rakyat terwujud, yaitu beras yang lokal dengan kualitas lokal, murah, dan bukan impor.
’Selogan’ lokal kita untuk hutan adalah secara turun temurun diajarkan untuk bersahabat dengan hutan, menjaga, dan melestarikannya. Sekarang bila kenyataanya ajaran mulia itu terhalang oleh kendala dan alasan yang tidak jelas, apa susahnya bila kita rebut kembali—kalau perlu dengan paksa—sebab ini untuk keberlangsungan pola hidup semua mahkluk hidup.
Penulis :Yoyo Sutarya
Seorang Petani juga Konseptor serta Dokumenteris
Tinggal di Ciamis – Jawa Barat