Moderinisme, kapitalisme, dan benturan kebijakan dari pemerintah, semakain mengkerucutkan sendi sendi ruh kebudayaan di Kota Cirebon. Kota Cirebon secara fisik didorong dengan “paksa harus menjadi metropolitan” rencana program ke depan pemerintah. Sisi lain penguatan- penguatan budaya yang masih mempunyai bentuk adat istiadat Kasultanan, kantong budaya, seta pengerak seni belum bersiap secara matang membentengi daerah ‘kekuasaannya’.
Memang sempat ada Festival Keraton Nusantara yang diadakan di Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Tapi berkumpulnya Raja-raja se Nusantara bukan alternatif program nyata pemerintah. Tapi merupakan murni program yang dibentuk oleh raja raja sejak tahun 1990, bertujuan “Menentramkan dan Mensejahtrakan Rakyat”. Maka sebagai bentuk penghargaan serta untuk mencari solusi membantu pemerintah, raja mengundang Presiden pada waktu penutupan acara.
Cirebon, secara adat istiadat harus memegang konsep budaya. Sementara saat ini dihadapkan pada desain pemerintah yang lebih mementingkan kemudian mengenjot pembangunan fisik. Peraturan tata kelola pertanahan, izin pembagunan kapitalis mudah di tempuh, tata kelola sampah yang masih payah, serta visual sampah menghiasi kota.
Bukan semata menyalahkan pemerintah terkait. Memang ada program yg bersinergi antara dinas pendidikan melalui pelajaran kesenian untuk bersinergi dengan pelaku pelaku seni, misalnya itu. Terkhusus di Cirebon, beberapa pendapat seniman jika saya simpulkan yaitu kurangnya perhatin penuh terhadap kantong-kantong budaya secara merata, baik dalam bantuan dan perhatian. Padahal letak paling mendasar dari pergerakan kebudayaan adalah kantong budaya. Ini salah satu contoh bawa pemerintah kurang jeli melihat keadaan.
Ketimpangan peraturan – peraturan pemerintah, letak konsep aturan adat dari adat istiadat Cirebon. Harusnya mereka duduk santai, kemudian berbincang dengan kepala jernih. Lalu membahas membuaut kosep untuk Daerah. Kalau dua pihak antara lain dari pihak pemegang adat dan pemerinrahan tidak membuat solusi tepat, dalam waktu ke depan, kita dapat menilai sejauh mana kedewasaan wilayah adat, dan pemerintahan.
Kini. Cirebon mau kemana? Tetap dalam konsep tatanan adat, atau melebur konsep kasultanan, atau berdiri tegak menjadi daerah metropolitan?
Terlihat ada semacam Gelisah, bimbang dengan keadaan sekarang, menempati dua ruang budaya antara bentuk adat dan dihadapkan dengan program pemerintah yang menjadikan Cirebon metropolitan. Sementara persiapan penguatan budaya tidak di dorong dengan baik.
Untuk menjadi seperti kejayaan Cirebon dahulu yang pernah menjadi Negara, sepertinya memerlukan pondasi kokoh tak terlihat yang di sebut tameng kebudayaan. Cara membuat tameng kebudayaan supaya lebih kuat salah satunya dengan melihat masa lalu Cirebon dari sumber tertulis di perpustakaan peninggalan dahulu dan cerita lisan masyarakat Cirebon. Dengan melihat masa lalu akan menjadi cermin untuk menata masa depan.
Penulis :Yoyo Sutarya
Seorang Petani juga Konseptor serta Dokumenteris
Tinggal di Ciamis – Jawa Barat