GALUHAN = GALOEHAN
oleh : Ganang Widiyanto Kakiyat
Sejak kecil, saya penasaran, dengan bekas komplek pabrik yang dikenal kini dengan Galuhan di Desa/Kecamatan Kandat Kabupaten Kediri. Rintisan awal tulisan saya itu saya posting di Multiply (2000an) awal, lalu di blogspot – blogger 2005 – 2011, pula Facebook dan tentu bahan dan materi yang terus saya kumpulkan hingga kini, belum semuanya dipublish. Foto terakhir tentang Galuhan, saya buat pada Oktober 2019 silam. Sementara, foto yang sudah beredar dan unggahan di internet sebelumnya, saya ambil gambarnya pada rentang waktu 2004 – 2006. Ada beberapa diantaranya pada 2007 – 2008.
Apa yang membuat saya tertarik untuk menelisik-nya? Saya lahir di desa Kandat hingga usia 5 -6 tahun, ketika saya harus dibawa serta orang tua pindah tak jauh dari Kandat, ke Perkebunan Djengkol di Plosoklaten. Area yang merupakan bekas komplek pabrik itu menjadi bagian asset Pabrik Gula Ngadiredjo (selatan Kediri). Hingga akhir tahun 80an, jika ada pesta Buka Giling, di Galuhan selalu diadakan tontonan/ hiburan untuk masyarakat umum. Saya sering diajak ke lokasi itu, untuk menyaksikan pertunjukan dan pasar malamnya. Kebetulan, saya juga sering diajak ayah, datangi Galuhan dengan naik Relauto atau Draizine, kendaraan bermesin bahan bakar bensin yang jalan diatas rel kereta. Perjalanan melalui Djengkol ke selatan Wates, lanjut ke Duwet, ke Barat nanti tembus-nya ke Galuhan itu. Keluarga kakek juga tinggal di Kandat, semakin melengkapi jadwal kunjungan ke lokasi eks pabrik Galuhan , ketika libur sekolah dulu.
Data yang saya dapat sejak 20 tahun silam, sebenarnya telah ada titik terang. Bahwa sebenarnya tempat itu bernama Galoehan Tapioca Estates – dirikan sejak 1908. Perkebunan Tapioka Galoehan berkantor pusat di Surabaya, dengan komoditas utama Singkong (Cassave), Agave, Tapioka. Direktur perusahaan ini adalah Apcar, G.L. Dalam telisik saya, Galoehan Tapioca Estates ini secara administrasi dulu masuk distrik Ngadiluwih, bukan kecamatan Kandat, karena belum ada pemerintahan di Kandat yang setara dengan kecamatan seperti saat ini.
Ketika semua sebagian besar asset perusahaan asing eks. Hindia Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah RI, maka diantaranya Galoehan akhirnya menjadi bagian dari asset PTP XXI – XXII (sekarang PTPN 10) Pabrik Gula Ngadiredjo. Hal yang sama juga terjadi pada eks perusahaan lainnya seperti Pabrik Gula dan pabrik lainnya (serat nanas, tapioca dll) seperti Djengkol, Bendoredjo (sudah tutup). Ini akan menjadi tulisan terpisah lainnya terkait bekas pabrik dan perusahaan di Kediri Raya. (rintisan tulisan disiapkan khusus).
Maka menurut saya, kesimpangsiuran telah usai saat ini, apalagi dengan adanya foto yang saya dapat dari Imexbo Nederland. Disebutkan, sesuai data foto (ada beberapa foto) namun yang mewakili diantaranya adalah yang saya unggah ini, foto dibuat pada 1920. Artinya, bila bangunan itu tetap ada secara keseluruhan, komplek bangunan pabrik itu telah berusia 100 tahun. Ini foto dibuat dari sisi utara pabrik, dengan sisi paling kiri adalah tower air yang hingga kini masih ada. Sementara cerobong asap menjulang tinggi, telah tidak ada, termasuk bangunan utama lainnya. Bangunan utama dari depan (Jalan Raya Kandat Kediri – Blitar) , lokasinya telah menjadi Kantor Kecamatan (selatan), Kantor Koramil (tengah) dan Polsek Kandat (utara).
Bangunan utama Galoehan Tapioca Estates sangat megah, sayang kini tak ada bekasnya, (kemungkinan) hancur saat agresi militer Belanda, pasca Proklamasi 1945. Jepang juga pernah menjadikan bangunan utama itu untuk kamp interniran bagi orang orang Belanda, sebelum mereka dipulangkan ke negerinya. Ini pernah saya tulis dan publish juga melalui FB dan IG.
Bisa menjadi pertimbangan sebenarnya bagi PTP 10, sebagai pengelola lahan dan eks bangunan pabrik, untuk menjadikan lokasi ini sebagai destinasi wisata layaknya De Tjolomadoe di Kartasura / Surakarta. Bangunan bekas komplek pabrik gula itu, sungguh asyik dikunjungi.
Tulisan ini hanya bahan, selengkapnya sambil menyatukan dengan rangkaian tulisan lainnya yang telah dipublish kelak akan saya himpun, agar menjadi bacaan dan bahan telisik, peminat lainnya.
|
|
|
SAYA BUKAN AHLI SEJARAH, HANYA JURNALIS BIASA DAN NDESO!
Salah satu yang membuat saya miliki antusias tinggi ber-internet saat itu (2005-an) adalah bisa menjelajah ruang dan waktu, bahkan jauh mundur ke-belakang, sebelum terlahir. Sebagai peminat sejarah dan “tjatatan tempo doeloe”, saya fokuskan pada hal – hal yang berada disekitar. Utamanya Kediri Raya. Meski keseharian sebagai jurnalis, namun saat – saat itu tidak berada di Kediri. Satu satunya jalan yang bisa saya lakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin, apapun yang bisa menjadi bahan kelak kemudian hari. Diantaranya, mengumpulkan catatan dan dokumen lama. Wawancara dengan narasumber yang masih ada (hidup/ belum meninggal), serta melengkapinya dengan foto – foto terkini (saat itu; 2000an). Beberapa diantaranya, saya simpan dan publikasi melalui laman cahdjengkol.multiply.com atau di blogger.com dengan akun “bentanGWaktu”. Laman Multiply (dot) com, sudah beberapa tahun lalu hilang dan tak aktif lagi. Beberapa catatan lain berikut foto masih saya simpan dengan baik hingga kini dan belum publish.
Biasanya akan ada penambahan data terbaru, apalagi ada aktivitas lanjutan terkait data yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Tidak sedikit, dan ini banyak. Dari file itu diantaranya ada yang saya tulis dengan judul “Blitar Negeri Sejuta Candi”. Mengapa, selama 4 tahunan lebih pada 2004 – 2008, saya telah kunjungi tumpukan batu, stupa, prasasti, candi, patung – patung, berbentuk atau yang sudah rusak, hingga hanya lingga yoni saja. Dari tempat yang dikenal umum, hingga paling wingit sekalipun. Dari yang kelihatan oleh umum karena mudah dijangkau lokasi-nya, hingga yang tersembunyi dan jauh dari keramaian. Semua sungguh banyak, eksplorasi Kediri raya, khususnya dulu Blitaraya.
Sebagai anak perkebunan, dibesarkan dilingkungan perkebunan (Pabrik Gula), tentu saya miliki minat khusus, mendalami, mempelajari, dan lalu berusaha menulis-kan dari bahan yang terkumpul tentang perkebunan dan industri –nya. Ayah, yang pensiunan karyawan pabrik Gula selalu menyemangati, agar mau mencatat apa saja terkait masa lalu di perkebunan. Ibu, demikian halnya. Ayah anak Sarirahardjo, Tukang Diesel, Mandoor Mesin, terakhir tercatat pensiunan Onderneming Djengkol – Kediri. Ia telah melanglangbuana dari satu pabrik ke pabrik lainnya, juga dari perkebunan satu ke perkebunan lainnya. Besannya (Ayah Ibu) adalah Djojodihardjo, terakhir tercatat sebagai Mandoor Kemetir di PG.Pesantren Baru Kediri. Djojodihardjo (kakek) adalah anak Sarkam Djojonagoro. Kelak Sarkam besanan dengan Martho Marsidik atau Sastro Soedirjo. Sastro yang menikah dengan Raden Nganten Soeratin, kelak melahirkan Soenarpi (nenek), Ibunda ibu saya Naniek Sriyantie. Nah, Naniek Sriyantie ini, menikah dengan Kakiyat anak Sarirahardjo. Dari perkawinan itu, lahir saya sebagai anak pertama, dengan nama “Ganang Widiyanto Kakiyat”. Saya biasa menulis dengan nama ‘bentanGWaktu’. Huruf “G” dari Ganang, dan huruf “W” dari Widiyanto. #bentangwaktu